Laporan Membaca 4
Laporan
Membaca 1
Judul Buku :
Berjalan di Atas Cahaya
Pengarang :
Hanum Salsabiela Rais, dkk
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
A.
Ringkasan
Hawa dingin menyeruak masuk ke dalam
bangunan ketika pintu gerbang apartemen Bu Via terbuka. Kami keluar dari
appertemen Bu Via bersamaan dengan jadwal beliau ke kantor Kedutaan Besar Indonesia untuk Swiss di Bern. Hari ini
saya akan menemui orang yang sangat spesial, Khoiriyah. Dia adalah orang
Indonesia yang saya asumsikan tak terbiasa hidup menyepi. Yang membuat saya
tertarik bukan karena asalnya yang asli Indonesia. Lebih dari itu. Dia bisa
jadi adalah orang yang merakit jam yang tengah melingkari pergelangan tangan
saya. Khoriyah adalah pembuat jam tangan merek dunia. Khoiriyah memeluk saya
dan Fetra saat kami tiba di rumahnya di Ipsach. Rumah di pedesaan yang
tergambar di benak tak seperti yang saya lihat di Swiss. Wawancara kemudian
berlangsung sebagai formalitas untuk mengejar hal-hal yang berbau informatif
identitas saja. Disisi lain, Nur Dann. Tak ada yang menyangka gadis berparas
ayu yang fotonya ada di tangan saya ituadalah rapper. Ya, rapper dalam
arti penyanyi yang berdendang dengan lirik patah-patah, dengan hiasan kata-kata
yow...yow...yow, diakhiri yeaah panjang. Penyanyi aliran musik dan nyanyian
yang liriknya biasanya bernuansa kritik sosial. Saya tidak menduga bukan karena
dia perempuan, tapi karena dia cantik dan berjilbab. Saya membuat janji bertemu
dengannya di acara pergelaran seni. Dua puluh menit menunggu di acara
Interfaith Festival tadi, saya mulai mengantuk. Tugba Seker, teman satu
komunitas Nur Dann, memberitahu saya bahwa Nurr Dann batal datang. Hati saya
kecut luar biasa. Bingung jika hari itu akan muntaber alias muncul tanpa cerita
alias gagal menyuguhkan liputan. Saya mencoret nama Nur Dann dari daftar paket
Ramadhan. Seorang MC dalam bahasa Jerman mengumumkan sesuatu. “Wilkommen, Nur
Dann!” Selamat datang, Nur Dann! Saya diminta kembali ke tenda, tentunya
bersama Satriyo, si juru kamera. Tiga lagu dinyanyikan oleh Nur Dann secara medley. Tanpa musik. Dalam bahasa
Jerman. “Tadi nyanyi temtang apa?” “itu? Uh...eh..tentang jilbab. Orang
berjilbab bisa juga nge-rap. Dengan jilbab, kita bisa mengubah dunia setitik
lebih baik.” “Gak paham. Bagaimana mengubahnya?” “Mengubah prespektif, cara
pandang orang tentang jilbab yang dibilang sumber kekolotan perempuan Muslim.
Jilbab itu ya kayak kalian pakai topi rap dimiringkan. Bisa nyaman kalau pakai
itu saat nge-rap. Saya bilang, kalau pakai jilbab, saya baru bisa merasa
nyaman. Nyaman ketika berbicara dengan orang, ketika bersekolah, ketika bekerja
juga nantinya. Atau apa pun.” “Ini caramu berdakwah, begitu?” “Ja!”. Wawancara
selesai. Kali ini liputan akan mengambil tempat di desa lain di Swiss, yaitu
Neerach. Saya akan berbicara banyak tentang anak karena propil yang akan saya
temui di desa Neerach ini adalah mualaf pria yang menikah dengan wanita
Singapura. Mereka di karuniai anak perempuan. Masih berusia 5 tahun. Memiliki
anak perempuan di negeri serbabebas seperti Eropa adalah tanda keharusan
berhati-hati, waspada dan ekstrasiaga bagi orang tua. Pasanagan yang akan saya
temui bernama Markus Klinkner dan Siti Zubaidan Klinkner. Aisha Maria adalah
anak semata wayang pasanagn Markus da Ce Siti, anak berusia 5 tahun yang sedang
lucu-lucunya. Bagi Markus dan istrinya inilah rentang usia yang paling mudah
untuk membentuk karakter yang berkepribadian. “Aisha Maria, ayo ambil wudu...”
Shalat berjamaah. Itulah yang diminta Markus pada anak gadisnya begitu tiba di
rumah. Begitu selesai mengucap salam, Markus dan Ce Siti menengadahkan tangan.
Aisha Maria pun mengekor. Selepas shalat Zuhur, keluarga Klinker mengajak kami
semua makan siang. Makan siang adalah waktu yang afdal untuk bertukar pikiran.
Ini menjadi salah satu medium saya mewawancarai secara nonformal sehingga tak
merasa kaku. Markus membelai rambut Aisha Maria. Aisha Maria meraih tangan
Markus lalu menengadahkan tangan ayahnya persis seperti yang dia lakukan. Dia
memaksa Markus berdoa lagi meski Markus sudah melakukannya secara cepat dan tak
disaksikan Aisha Maria. Saya rasa, saat itulah kebiasaan yang ditanamkan orang
tua menjadi sesuatu yang menjelma menjadi keyakinan Aisha Maria. Pada usia sedemikian
dini, dia sudah yakin bahwa sebelum memasukkan apapun ke rongga mulut, dia
perlu memastikan bahwa Tuhan benar-benar merestuinya. Tahukah apa yang
disodorkannya pada Markus senelum tidur malam? Buku tentang sejarah nabi. Saya
intip kamar Aisha Maria. Di situ saya temukan deretan buku ajar Al-Qur’an untuk
anak-anak. Saya terkesima. Saya mendekap erat Ce Siti dan bersalaman dengan
Markus. Hujan mereda ketika malam semakin merangkak. Usai sudah liputan hari
itu, liputan tentang keluarga Muslim di desa Neerach. Saat Maghrib menjelang,
saya menulis tulisan ini. Jujur saya membayangkan apa yang sedang dilakukan
keluarga sederhana ini di desa nun jauh di sana. Jujur saya merindukan suara
Markus yang melafalkan azan dan ikamah sebelum shalatnya. Dan Aisha Maria yang
berteriak Aamiin dengan lantang saat
Markus menyelesaikan Al Fatihah. Saya merindukan keluarga itu.
ini adalah sepenggal cerita tentang
Fatma. Teman saya dulu. Seorang ibu rumah tangga yang meniti kehidupan normal
sebagaimana perempuan pada umumnya di kota Wina. Perempuan yang punya cita-cita
sebaimana cita-cita saya, atau cita-cita Anda. Fatma pasti selalu mengatakan,
“Aku bisa membuat baju-baju seperti ini.” Lalu dia akan diam sebentar dan
melanjutkan “Ya, andai aku punya kesempatan.” Seperti yang saya katakan tadi,
dia dipaksa oleh keadaan untuk tak bisa melakukan apapun. Dia punya kemauan
bekerja. Tapi, tak ada perusahaan desainer baju yang mau mempekerjakannya.
Lagi-lagi karena perusahaan meminta jilbabnya
menjadi taruhannya. Untuk membuka sebuah buitik atau gerai penjahit seperti di
Indonesia juga hampir mustahil. Seorang imigran sepertinya tak mudah
mendapatkan sertifikat atau izin mendirikan usaha. Ditambah lagi, butuh modal
besar untuk mendirikan usaha. Tetapi, semua itu tak pernah menjadikannya
menyesal menjadi ibu terbaik bagi Ayse. Hari itu seperti biasa kelas Bahasa
Jerman di tempa kursus di Universitas Vienna dibuka oleh Elfriede, guru bahasa
Jerman kami. Tugas hari itu adalah mempraktikkan kepiawaian bahasa Jerman kami
hingga hari itu. Elfriede ingin kami membuat kelompok tugas. Satu kelompok
terdiri dari 5 orang, masing-masing diminta saling bertukar pikiran. Topik yang
dipilih Elfriede adalah kehidupan kami dulu dan kini. Karena duduk dekat Fatma,
jadilah saya berkelompok dengannya, juga dengan 3 orang lain di samping kami
yang semuanya perempuan. Mereka adalah Steliyana, Daphne, Clara, saya dan
Fatma. Daphne, doketer anak yang dianggap tidak kompeten sebagai ibu saat
mengurus anak-anaknya sehingga anak-anaknya di bawa oleh suami pertamanya.
Steliyana, perempuan seniman yang memiliki anak di luar hubunngan pernikahan.
Clara, perempuan yang belum menikah di usianya yang sudah 47 tahun dan masih single, bekerja sebagai Vice President
sebuah bank di Paris, mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan. Fatma, seorang
ibu rumah tangga yang punya banyak cita-cita, salah satunya menjadi desainer
fasyen. Namun, sekarang ini dia hanya punya satu cita-cita dan impian besar,
menjadi ibu rumah tangga terbaik untuk suami dan anaknya. Sementara saya adalah
mantan wartawan televisi dan dulu juga praktik sebagai dokter gigi. Sama seperi
Fatma, saat ini saya mendedikasikan hidup untuk suami saya yang sedang sekolah
dektoral, karena kami belum punya anak. Kelaspun dilanjutkan dengan tugas lain.
Sepulang dari kursus bahassa Jerman itu, saya diajak Fatma untuk mengunjungi
tempat tinggalnya. Kami mengerjakan Shalat Zuhur bersama dalam mushala kecil
miliknya. Seusai salam akhir shalat, kami saling bercium pipi. Saya pandangi
Fatma yang bersujud lama sekali. Hingga saya mendengar isak tangisnya. Saya
memandang Fatma lekat-lekat. Lalu saya mendekapnya. Air mata saya rasakan
mengambang tipis di sudut mata. Sungguh, saya tadi juga minder. Selama 2 bulan
pertama di Wina, saya seperti orang tak berguna. Fatma dan tiga perempuan di
kelas tadi mengingatkan saya tentang arti sebuah keluarga. My family must come first.
Xiao Wei adalah teman tanden bahasa
Jerman selama tinggal di Linz. Setelah keluar dari apertemen Mama Heidi, saya
dan suami, Rangga, tinggal di asrama Rabb Heim di dekat kampus tempat suami
saya kantor. Seperti biasa, karena kesepian saya iseng-iseng menuliskan nama
dan mencantumkan nomor telepon di papan pengumuman sebuah convenient store. Ternyata berminggu-minggu saya menunggu tanpa
hasil. Terpaksalah, saya menawarkan kemampuan bahasa Inggris saya dengan bahasa
Jerman. Suatu hari, telepon saya berdering. Telepon dari Xiao Wei, anak
kulihaan semester 2 keturunan China yang sejak berumur 5 tahun di Austria. Xiao
Wei adalah anak yang dibesarkan dalam keluarga China komunis yang tak pernah
bersinggunggan dengan sisi religius. Dia suka mencari-cari cerita legenda
sebagai bagian analogi cara berpikirnya. Khas orang China. “Kau tahu cerita
gajah terbang, Hanum?” saya menggeleng. Kembali saya kebingungan ada hubungan
apa gajah dengan kafe? Dia pun menjelaskan. Xiao Wei, perempuan muda berusia 22
tahun ini, membuat saya bertanya pada diri sendiri. Rasa penasaran tentang Xiao
Wei menghilang sudah. Dia telah menyadarkan saya tentang betapa gampangnya kita
terpengaruh orang lain padahal kita belum pernah melihat sendiri. Terlalu mudah
kita mengelu-elukan orang bahwa dia adalah calon pemimpin yang hebat, calon
orang kuat yang akan menyejahterakan rakyat, dan sebagainya. Padahal kalau
dirunut-runut kembali, apa yang kita pikirkan hanyalah ikut-ikutan. Atau
sebaliknya, kita melihat orang yang dianggap sebagian besar orrang sebagai
orang yang tidak berkemampuan, padahal di balik semua itu dia menyimpan segala
kebolehan yang belum pernah terbukti dengan mata kepala kita sendiri. Sama
dengan keadaan saya kali itu. Publik yang telah digosok media tanpa pernah
mencari pembanding dan secara gegabah menghakimi dan mencap smeua Muslim
sebagai teroris adalah mereka yang mengaku melihat gajah terbang. Kini saya
baru sadar, perumpamaan Xiao Wei ini dikenal dengan teh power of yhe crowd, the danger of the crowd. “Jadi Hanum,
sekarang aku ganti bertanya padamu. Mengapa kau masih mau berteman denganku?”
tanya Xiao Wei dengan senyumannya yang tulus. Saya membalasnya dengan senyuman.
Dia tahu jelas apa jawaban saya. Saya tak mau menjadi penonton gajah terbang.
Saya tahu, Allah adalah Maha Pembuat perjalanan terindah dalam hidup. Saya
tahu, saya akan menulis untuk Anda. Dan saya tahu, saya ingin terus berjalan di
atas cahaya.
B.
Unsur Intrinsik
1. Tokoh
a. Hanum : mampu mengubah presepsi orang lain
dan bersyukur
Kutipan :
1) Saat
itu yang saya pikirkan hanya satu. Saya ingin mengubah presepsi mereka dengan
sikap ramah. Sikap akrab. Bahwa jika nanti mereka mendengar kata Indonesia
lagi, yang pertama nyantol dibenak mereka adalah orang-orang Indonesia itu baik
dan ramah (23).
2) Terima
kasih ya, Rabb. Tak pernah aku bayangkan Engkau mempertemukanku dengan
saudara muslimah sebangsa setanah air di
belahan dunia yang begitu terpencil (29).
b. Nur
Dann : kreatif dan cerdas
Kutipan :
1) Tak
ada yang menyangka gadis berparas ayu yang fotonya ada di tangan saya itu
adalah rapper (30).
2) “Tadi
nyanyi temtang apa?”
“itu? Uh...eh..tentang jilbab. Orang
berjilbab bisa juga nge-rap. Dengan jilbab, kita bisa mengubah dunia setitik lebih
baik.”
“Gak paham. Bagaimana mengubahnya?”
“Mengubah prespektif, cara pandang orang
tentang jilbab yang dibilang
sumber kekolotan perempuan Muslim.
Jilbab itu ya kayak kalian pakai topi rap dimiringkan. Bisa nyaman kalau pakai
itu saat nge-rap. Saya bilang, kalau pakai jilbab, saya baru bisa merasa
nyaman. Nyaman ketika berbicara dengan orang, ketika bersekolah, ketika bekerja
juga nantinya. Atau apa pun.”
“Ini caramu berdakwah, begitu?”
“Ja!” (35)
c. Bunda
Ikoy : Tekun dan realistis
Kutipan :
1) “Jadi,
Bunda Ikoy satu-satunya karyawan mereka yang memakai jilbab?” ...
“Ya. Dan yang bertahan hingga sekarang,”
Jawab Bunda Ikoy mantap (26)
2) Permasalahan
tak akan berkutat pada boleh-tidaknya menggunakan jilbab. Bagi Bunda Ikoy,
intinya adalah pembuktian. Bahwa dengan jilbab yang menelungkupi kepalanya,
keterampilannya merakit jam bisa melebihi mereka yang tidak berjilbab (27)
d. Amaliah : mandiri dan bersyukur
Kutipan :
1) Saya
hatus bekerja sendiri mengangkat dua koper besar berbobot 30 kilo per koper
seorang diri, dengan bayi menggantung di pelukan (85)
2) Ya
Tuhan, betapa istimewa hamba mendapatkan kemudahan-Mu (86)
e. Wardatul : cerdas dan optimis
Kutipan :
1) Setelah
melalui beberapa proses, akhirnya saya dan 5 perempua lain, juga 8 putra Aceh,
dinyatakan lulus mendapatkan beasiswa. Kami pun diberangkatkan ke Istanbul,
Turki (156)
2) Saya
harus bisa mengemban amanah besar yang mereka berikan. Doa dan harapan mereka
tersimpan di lubuk terdalam hati dan dasar jiwa dan menjadi kekuatan utama saya
(157).
2. Latar
a. Latar
Tempat : Rumah Khoiriyah dan kedai bunga
Kutipan :
1) Khoiriyah
memeluk saya dan Fetra saat kami tiba di rumahnya di Ipsach (17).
2) Saya datangi kedai bunga tadi. Ini benar-benar
kedai yang aneh (40).
b. Latar
Waktu : Senin dan Minggu
Kutipan :
1) Hari
itu Senin. Bukan Minggu. Tapi, kesunyiannya tiak jauh berbeda dengan kesunyian
Minggu (41).
2) Di
Austria, hari Minggu toko-toko tutup (126).
c. Latar
Suasana : senyap dan hening
Kutipan :
1) Hari
itu Minggu, keadaan yang paling sanyap di sebagian besar belahan Eropa (16).
2) Hidup
jauh di negara Barat yang maju, telinga kita menjadi terbiasa dengan
keheningan, jauh dari suara-suara bising kendaraan (127).
3. Gaya
Bahasa : Antiklimaks (mengurutkan
suatu tingkatan dari tinggi ke rendah)
Kutipan : sangat berat melepaskan
keluarga tercinta, sahabat-sahabat, dan semua rutinitas. Meninggalkan zona
nyaman dalam hidup adalah perjuangan yang saya anggap berat, walaupun semua
demi kehidupan yang lebih baik. Bagaimanapun, saya tidak pernah gentar
melaluuinya (158).
4. Sudut
Pandang : Saya, kami, beliau
Kutipan :
a. Mama
Heidi. Saya memanggilnya demikian. Seorang dokter ahli tulang. Usia jelang
70-an. Seumur hidup saya takkan pernah melupakan jasa Mama Heidi dan suaminya,
Reinhard Kramar (50).
b. Kami
keluar dari appertemen Bu Via bersamaan dengan jadwal beliau ke kantor
Kedutaan Besar Indonesia untuk Swiss di
Bern (13)
5. Amanat : Hijrahlah, dan jangan takut
dengan apa yang kau tinggalkan, karena kau akan menapatkan penggantinya, bahkan
lebih.
Kutipan : Saya terbayang perkataan Imam
Al-Ghazali yang menjadi pembokong hidup saya. Hijrahlah, dan jangan takut dengan apa yang kau tinggalkan, karena kau
akan menapatkan penggantinya, bahkan lebih (158).
C.
Unsur Ekstrinsik
1. Nilai
Agama : rasa syukur dan keyakinan
Kutipan :
a. Kisah
ini menjadi begitu spesial. Ketika mendengar kisah Markus, saat itu pula saya
bersyukur pada-Nya. Keluarga saya adalah keluarga yang utuh dalam Islam dan
bermunajat unnutk satu keyakinan yang sama. Itu adalah harta yang terkadang
terlupakan (49).
b. Cerita
Dzelila, Elina dan Belma, serta Naida membuat saya semain yakin unutk terus
berusaha menjdi muslimah yang baik dengan tetap memperhatikan hijab dan menutup
seluuruh aurat (154).
2. Nilai
Moral : kepercayaan dan
penghormatan
Kutipan :
a. Di
Neerach, di desa antah berantah ini, saya belajar lagi bagaimana memberi
kepercayaan dan memegang kepercayaan (43).
b. “Sebagian
besar bule atau orang non-Muslim akan berganti nama ketika memeluk Islam,
Hanum. Tapi Markus tidak. Keran dia ingin menghormati pemberian nama kedua
orangtuanya,” imbuh Ce Siti.
“Ya. karena saya tahu, orang tua
menyematkan nama itu bahkan ketika saya belum lahir. Dengan setulus hati dan
keyakinan. Untuk itulah saya takkan berganti nama,” ucap Markus mantap (48).
3. Nilai
Pendidikan : kasih sayang orang tua dan
arti sebuah keluarga
Kutipan :
a. Memiliki
anak perempuan di negeri serbabebas seperti Eropa adalah tanda keharusan
berhati-hati, waspada dan ekstrasiaga bagi orang tua (40).
b. Selama
2 bulan di Wina, saya seperti orang tak berguna. Fatma dan tiga perempuan di
kelas tadi mengingatkan saya tentang arti sebuah keluarga. My family must come first (keluargaku harus yang pertama) (66)
4. Nilai
Sosial : tolong-menolong dan
kemanusiaan
Kutipan :
a. Orang-orang
tersebut bukanlah kaum superistimewa. Selama ini, mereka menjalani kehidupan
yang biasa saja. Tapi, begitu besar saya berutang budi kepada mereka! Mereka
pula yang menanam investasi sosial terhadap saya. Karena itu, saya juga siap
melakukan apa yang mereka lakukan itu, kapanpun dibutuhkan (8).
b. Selepas
shalat Zuhur, keluarga Klinker mengajak kami semua makan siang (46).
D.
Keunggulan Novel
Ceritanya unik dan menarik.
Menggunakan gaya bahasa yang mampu menarik perhatian pembaca. Penulis juga
mampu mengulas cerita yang realistis. Menggunakan alur yang mampu membawa
imajinasi pembaca ke dalam kisah yang sesungguhnya. Kisah nyata penulis.
E.
Kelemahan Novel
Menggunakan berbagai bahasa asing di
dalamnya sehingga membutuhkan sedikit pengetahuan dalam memaknai bahasanya.
Pemilihan latar tempat cerita yang terletak di Eropa membuat beberapa pembaca
sedikit kesulitan berimajinasi.
F.
Hal yang Menarik
Penulis mampu mendeskribsikan secara
singkat, padat, dan jelas tentang perkembangan Islam di Eropa. Kaum minoritas
Islam di Eropa memiliki cara tersendiri dalam menegakkan keislamannya, melalui
karier, tanggung jawab, toleransi dan lainnya. Seorang perempuan cantik yang
berdakwah melalui kariernya sebagai rapper,
seorang ayah yang mengajarkan sifat keislamaan kepada putrinya sejak dini,
wanita Islam bercadar yang dianggap teroris memberi pertolongan kepada orang
yang membutuhkan tanpa memandang perbedaan yang ada, serta banyak kisah lainnya
yang penulis curahkan di dalam buku ini. Buku yang mampu memotivasi siapa saja,
memberikan pengalaman hidup yang bermakna, serta smenjadi sumber informasi yang
bermanfaat bagi yang membacanya.
Komentar
Posting Komentar