Laporan Kegiatan Membaca


Laporan Membaca 1
Judul               : Teka-Teki Terakhir
Penulis             : Annisa Ihsani
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal               : 252 Halaman

A. Ringkasan
            Ada yang aneh dengan pasangan suami istri Maxwell yang tinggal di rumah ta besar di pinggir sungai Littlewood, semua orang tau itu. Sewaktu kami masih kecil, aku dan abangku, Jack, sering berpura-pura bahwa mereka adalah penyihir, lengkap dengan sapu terbang dan ramuan berwarna hijau yang mengepuldi atas kuali. Belakangan, ketika orang dewasa semakin berkeras menyakinkan kami bahwa sihir itu tidak ada dan kami nyaris mempercayai mereka, cerita yang beredar mengatakan penghuni rumah itu adalah ahli kimia gila yang sedang melakukan eksperimen berbahaya. Versi serupa lainnya menyebutkan bahwa mereka ahli botani gila yang sedang meneliti tanaman langka. Rumahku dan rumah Maxwell teretak di sisi kiri sungai Littlewood, bagian kota yang lebih kecil. Sebagian besar rumah penduduk, toko-toko dan tempat menarik lain berada dis sisi kanan sungai. Ini artinya aku dan Jack harus melewati rumah maxwell setiap kali ingin mneyeberangi sungai, yang berarti setiap hari, karena kamikan perlu pergi ke sekolah. Pertemuan pertamaku dengan Tuan Maxwell terjadi sekitar setahun yang lalu.
            Sekarang bulan Maret tahun 19992. Tahun pertamaku di SMP, yang ternyata sangat jauh berbeda dari yang kukira, cara lebih halus untuk mengatakan “Sangat tidak menyenangkan”. Aku tidak lagi punya waktu untuk memikirkan si pria tua di balik ilalang karena, pikiranku dipenuhi banyak masalah yang lebih mendesak. Nilai nol di lembar jawaban kuis matematikaku.
            Kau tahu, aku sering mendengar orang dewasa berkata bahwa mereka payah dalam matematika semasa sekolah dulu.  Itu mungkin topik yang paling sering muncul dalam pecakapan basa-basi mereka, setelah cuaca dan pertandingan olahraga. Sekarang, hampir bisa kupastikan bahwa itu juga akan menjadi salah satu topik basa-basiku saat dewasa nanti.
Pertemuanku kemarin membangkitkan kembali rasa ingin tahuku terhadap suami istri Maxwell. Mengikuti anjuran pria tua itu, kulihat lagi kertas kuisku sebelum membuangnya. Ternyata ada catatan-catatan tambahan, ditulis dengan pensil tipis dengan tulisan keriting panjang-panjang, seperti,”Hanya salah menghitung dilangkah terakhir, aku akna memberi sedikitnya lima poin kalau aku jadi gurumu” dan “ Akan lebih mudah kalau kau menyamakan koefisien x dulu” dan semacamnya. Akhirnya kusimpan kertas itu di laci meja belajrku. Buku yang dia berikan tenyata, meski aku benci menngakuinya, cukup menarik. Aku jadi tahu bahwa nol tercatat pertama kali digunakan oleh orang-orang Babilonia sebagai simbol untuk melambangkan kekosongan. Setelah itu simbol ini juga muncul di peradaban Maya sekitar abad keempat. Dan butuh berabad-abad kemudian hingga akhirnya ahli matematika India bernama Brahmagupta menggunakan nol, untuk pertama kali sebgai angka yang bisa ditambahkan, dikurangi, dikali, dan dibagi. Sayangnya dia keliru untuk operasinya yang terakhir itu. Dia menyebutkan bahwa nol dibagi nol akan menghasilkan nol. Kurasa setelah membaca semua sejarah ini, aku jadi mengerti, tapi tidak bisa bilang aku setuju, sebagian perkataan Tuan Maxwell : tidak begitu buruk mendapatkan nol, setelah begitu lama pencahariannya.
Tetapi sudah sebulan yang lalu sejak pertemuan terakhirku dengan Tuan Maxwell dan aku masih belum mengembalikan buku itu. Setiap kali aku lewat di depan rumahnya, tidak terlihat tanda-tanda keberadaan pria itu. Aku pun tidak telalu memikirkannya lagi, meski buku itu masih kubawa kemana-mana di tasku seperti jimat. Aku juga tidak tahu persis kenapa aku melakukan hal tersebut. Nilai matematika sudah jauh lebih baik. Mungkin aku berusaha lebih keras untuk berkonsentrasi, atau mungkin matematika terasa lebih menarik sejak membaca sejarah nol, entahlah. Yang pasti pagi ini Pak Larson membagikan hasil kuis dadakan minggu lalu, dan teabak aku dapat berapa? 52 dari 100! Yah, memeang sih tidak bagus-bagus amat, dan juga masih dibawah rata-rata kelas, tapi iitukan 52 point lebih banyak dari pada kuis sebelumnya..
            Sekarang, aku sedang berada di pusat  kota bersama tamanku, Katie. Di awal tahun ajaran ini,tampaknya kami sama-sama menyadari bahwa maisng-masing tidak punya teman, jadi saat jam makan sinag kami duduk di meja yang sama di kantin. Dia menanyakan buku apa yang sedang ku baca, Nanci Drew, dan aku memuji gelqng ynqg di pakainya, yang ternyata dibuat sendiri. Dian lalau mewarkan mengajari membuat gelang, yang kuterima meski sesungguhnya aku tidak begitu suka memakai aksesori. Aku juga menawarinya untuk meminjam bukuku, yang diterirmanya meski aku juga tahu bahwa dia tidak begitu suku membaca cerita detektif. Sejak saat itu kami berteman.
            Katie berubuh mugil. Rambutnya hitam pekat dan dipotong pendek di bawah telinga seperti anak laki-laki. Dia suka mengenakan pakaian yang aneh-aneh, tapi menurtuku itu cocok dengan kepribadiannya. Ternyata selain membuat kerajinan tangan, dia juga suka menggambar dan melukis. Dinding kamrnya penuh dengan sketsa dan lukisan yang menurut mata awamku cukup mengagumkan..
            Keberanianku datang di hari Minggu, mungkin karena Minggu hari yang membosankan. Semua toko tuttup dan semua orang mengantuk, jadi kupikir lebih baik mencari petualangan sendiri. Jam tiga sore kutemukan diriku berdiri sendirian di depan pagar rumah Maxwell. Pintu pagarnya tertutup, tapi tidak terkunci. Perlahan kudorong pintunya hingga terbuka, lalu aku mulai melangkah masuk ke halaman depan rumah. Jalan setapaknya nyaris tidak kelihatan lagi karena tertutup ilalang ynag tingginya mencapai pinggangku.
            Setelah menyusuri bagian samping rumah, aku sampai di halaman belakng yang sangaat luas. Kebanyakan rumah di Littlewood memnag seperti ini, dengan halaman depan yang kecil dan halaman belakang yang luas. Tetapi halam belakang rumah Maxwell jauh ebih luas dari yang kubayangkan. Kelihatannya ada ynag merawat kebun ini. Ada beberapa pohon apel besar, kebun sayur , dan rumpun bunga di sana sini. Rumput liar juga tidak sebanyak halaman depan.
Mengikuti jalan setapak, aku samapai diteras belakng yang mungil. Ada satu meja rotan dan empat kursi. Di kolong salah satu kursi, ada kucing gemuk berbulu kuning sedang tidur. Debar jantungku jadi agak tenang sedikit. Orang ynag memlihara kucing pasti bukan orng jahat, kan?
Syukurlah, kali ini pintunya tidak jauh berbeda dari pintu di rumhku. Tidak ada bel di situ jadi aku mengetuk pelan-pelan. Setelah dua atau tiga menit, tidak ada jawaban. Kuketuk sekali lagi. Dua menit lagi berlalu. Sebagian diruku merasa lega. Mungkin tidak ada orang di rumah. Atau mungkin mereka tidak ingin diganggu tamu, apalagi oleh anak perempuan berumur dua belas tahun. Mungkin sebaiknya aku menekan rasa ingin tahu dan melanjutkan hidup.
Aku sudah membalikkan badan untuk pulang ketika pintu tiba-tiba terbuka. Ketika ia maju selangkah mendekatiku, barulah aku melihat Nyonya Maxwell dengan jelas untuk pertama kali. Sekarang aku tahu mengapa ada gosip ynag menyebutkan bahwa keluarga Maxwell bangsawan. Penampilan wanita ini sangat.... agung. Entahlah, aku tahu kedengarannya bodoh, tapi aku tidak bisa menamukan kata yang tepat untuk menggambarkan wanita ini. Mata besar dan berwarna abu-abu, bibir tipis, dan rambutnya ynag memutih disisir ke belakang lalau digulung menjadi sanggul kecil. Ia mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga kuning dan kalung mutiara di lehar. Tampaknya ia sama tua dengan suaminya.
“Selamat sore,” kata Nyonya Maxwell padaku.
“Selamat sore, Nyonya Maxwell,” jawabku gugup.
“Ada yang bisa kubantu? Tanyanya. Sejenak ia menyipitkan mata memandangiku, kemudian tersenyum. “Ah, apakah ini Laura Welman?”
“Benar, Nyonya.” Bahkan tidak terpikir olehku untuk bertanya bagaimana ia bisa tahu.
“kelihatannya kita belum berkenalan secara resmi,” katanya sambil mengulurkan tanagn utnuk bersalaman. “Eliza Maxwell.”
Aku menyambut uluran tanagnnya dan menyebutkan namaku.
            Hari Minggu pagi berikutnya, aku memasuki halaman rumah Maxwell dengan kantong berisi kue brownies di satu tangan dan buku-buku yang kupinjam minggu sebelumnya di tangan lain. Kutemukan Nyonya Maxwell sedang membungkuk di atas rumpun bunga daisy di halaman belakang. Kali ini ia menggunakan celana panjang cokelat dan sweter krem sederhana. Tangannya tertutup sarung tangan berkebun. Rambutnya tidak lagi digelung, tapi diikat menjadi satu kunciran hingga ke punggung.
            “Selamat pagi, Nyonya Maxwell!”
            Nyonya Maxwell mendongak lalu tersenyum saat melihaku. “Ah, Laura. Bagaimana kabarmu?’
            “Baik,” jawabku sambil mangacungkan kantong berisi brownies. “Ibuku menitipkan brownies  untuk Anda dan Tuan Maxwell. Dia membuatnya sendiri tadi pagi.’
            “Baik sekali ibumu. Sampaikan terima kasihku padanya nanti. Bisakah kau tolong letakkan di dalam? Tanganku kotor.”
            Kuletakkan kue itu di meja dapur, lalu keluar lagi. “Sudah, adakah yang bisa kubantu, Nyonya?”
            “Kau boleh menyiram tanaman yang di sudut itu. Kalau tidak keberatan tentunya.”
            Kubuka gulungan selang dan mulai menyiram tanaman yang di tunjuknya.
            Kami menghabiskan lima belas menit berikutnya dengan memnagkas daun yang sudah terlalu lebat dan memotong beberapa tangkai mawar. Setelah meletakkan mawar-mawar tersebut ke dalam vas bunga berisi air, Nyonya Maxwell berkata, “Nah, Laura terima kasih banyak atas bantuanmu. Sekarang naiklah ke perpustakaan dan ambillah buku apapun yang kau inginkan. Dan bolehkah aku minta tolong lagi? Bukakan tirai dan jendela perpustakaan selagi kau di sana.”
            “Ok, Nyonya Maxwell.” Sahutku lalu mulai berjalan menuju perpustakaan.
            Kuhampiri rak buku milik Tuan Maxwell dan sekali lagi kuamati judul-judl buku di situ. Kali ini aku menangkap sesuatu yang luput dari perhatianku minggu lalu. Nama Fermat muncul berulang kali : Teorema Terakhir Fermat untuk Kasus n=4, Teorema Terakhir Faermat: Bukti untuk n=7, Sebuah Bukti Sederhana dari Teorema Terakhir Fermat untuk n=6 dan n=10, Kuliah tetang Teorema Terakhir Fermat....
            Tampaknya itulah yang dikerjakan Tuan Maxwell : Teorema Terakhir Fermat.
            Pada kenyataannya, Andrew Wiles berhasil memperbaiki kesalahan di pembuktiannya. Bukti Teorema Terakhir Fermat, totalnya 130 halaman, dipublikasikan pada bulan Mei tahun 1995. Tuan Maxwell tidak pernah mendapat kesempatan melihatnya. Ia meninggal bulan Januari tahun sebelumnya. Pensil dan buku catatannya tergeletak di meja di samping tempat tidurnya. Sampai akhir hayat dia masih terus berusaha membuktikan Teorema Terakhir Fermat.
            Sekarang tahun 1996 dan aku baru saja menonton tayangan dokumentasi BBC tentang Teorema Terakhir Fermat. Lewat acara itu aku akhirnya melihat seperti apa yang namanya Andrew Wiles. Dia berpotongan kurus tinggi, memakai kacamata, dan tampangnya terlihat menyenangkan. Selain wiles, acara itu juga memperlihatkan beberapa orang lainnya yang pernah mencoba membuktikan teorema itu. Orang-orang seperti Tuan Maxwell.


B. Unsur-Unsur Novel
1.      Tokoh
a. Laura Welman
b. James Maxwell
c. Katie
2.      Watak
a. Laura Welman         : Peenakut, sensitif, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
1)      Penkaut
Kutipan : ..... aku menoleh ke arah rumah itu. Apa yang kulihat membuat buluk kudukku meremang. ( Hal 10)
2)      Sensitf
Kutipan : “Tetapi aku sudah menjelaskannya tadi,” kata Jack tidak sabar. “Konsentrasilah, Laura. Pantas saja niaimu jelek.” Aw. Itu menyakitkan. Aku meninggalkam Jack dengan perasaan terkhianati. (Hal 16)
3)      Rasa ingin tahu tinggi
Kutipan : Aku perlu mencari tahu lebih jauh tentang Tuan Maxwell dan Teorema Terakhir Fermat, itu sudah pasti. (Hal 64)
b. James Maxwell        : pantang menyerah, cerdas, dan pekerja keras
1)      Pantang menyerah
            Kutipan : Tuan Maxwell tidak pernah mendapat kesempatan melihatnya. Ia meninggal bulan         Januari tahun sebelumnya. Pensil dan buku catatannya tergeletak di meja di samping tempat          tidurnya. Sampai akhir hayat dia masih terus berusaha membuktikan Teorema Terakhir        Fermat. (Hal 236)
2)      Cerdas
Kutipan : “Sekarang perhaitkan persamaan berikut....”Sejenak ia mencoret-coret di kertasnya. “.... dan kau akan selalu bisa menemukan kuadrat ganjil. Karena ada tak hingga banayknya kuadrat ganjil, dari persamaan ini kita bisa tahu bahwa ada tak hingga banyaknya Triple Pythagoras. Quod erat demonstrandum (QED), diambil dari bahasa latin, artinya yang sudah terbukti.”  ( Hal 71)
3)      Pekerja keras
Kutipan : “.... Jadi, bagaimana Anda bisa tau itu?” “Disinilah kita membutuhkan yang namnaya pembutian formal,” kata Tuan Maxwell. ( Hal 70)
c. Katie                        :egois, optimis, dan sensitif
1)      Egois
Kutipan : Katie terlalu sibuk dengan lukisan kolam teratainya. Hanya itu yang bisa dibicrakannya saat jam makan siang, dia bahkan tidak berpura-pura tertarik pada kelanjutan kisahku dnegan pasangan Maxwell. (Hal 67)
2)      Optimis
Kutipan : “.... coba tebak aku sudah menemukan ide untuk lukisanku. Kau tahu apa?Kolam teratai di taman kota! Idenya datang tiba-tiba sewaktu aku di suruh menjaga Karen di situ kemarin....” ia pun bercerita panjang lebar tentang rencana melukisnya. (Hal 56)
3)      Sensitif
Kutipan :”Kau selalu saja di rumah itu. Kau meluupakan janji kita nonton...”
 “ Tetapi itu karena Nyonya Maxwell sedang sakit!”
“ Lalu kenapa?” Potong Katie lagi. “Kau bukan cucunya. Kau tidak pelu mengurus mereka.” ( Hal 113)
3.      Latar
a. Latar tempat : Perpustakaan
Kutipan : Aku menghabiskan jam makan siang dengan membaca diperpustakaan. (Hal 27)
b. Latar waktu : Malam hari
Kutipan : Malam itu sehabis makan malam, kuketuk pintu kamar Jack. (Hal 14)
c. Latar Suasana : kecewa
Kutipan : Aku meninggalkan kamarnya dengan perasaan terkhianati. (Hal 17)
4.      Sudut Pandang
Menggunakan orang pertama tunggal.
Kutipan : Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan harga diri yang tersisa, lalu berkata, “ Baiklah, terima kasih, Tuan Maxwell. Akan kubuang di tempat yang benar sekarang.”
(Hal 20)
5.      Alur
Menggunakan alur maju.
Kutipan : Malam ini aku pergi tidur dengan perasaan kecewa. Tampaknya tidak ada yang tertarik dengan petualanganku di rumah Maxwell. Hari Minggu pagi berikutnya, aku memasuki halam rumah Maxwell dengan kantong berisi kue brownies di satu tanga dan buku-buku yang kupinjam minggu sebelumnya di tangan lain. (Hal 56-57)
6.      Gaya Bahasa
Asosiasi,yaitu membandingkan 2 objek yang berbeda, namun dianggap sama dengan pemberian kata sambung bagaikan, baik, ataupun, seperti.
Kutipan :         “Selamat sore.”
                        Selama bertahun-tahun aku berharap bisa melihat penghuni rumah itu, tapi ketika benar-bnear terjadi yang kuucapkan hanyalah sapaan yang bisa disampaikan pada siapa saja di jalan pada sore itu. Tetapi, kata-kata itu, untungnya, bekerja seperti mantra yang melepaskan kutukan kaku di kakiku. ( Hal 10-11)
C. Pesan Moral
a.       Nilai Agama
Tidak selamanya orang bodoh akan tetap menjadi bodoh. Namun, apabila ia berusaha dan berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa maka seiring berjalannya waktu kebodhannya akan segera memudar.
Kutipan : Nilai matematika sudah jauh lebih baik. Mungkin aku berusaha lebih keras          untuk berkonsentrasi, atau mungkin matematika terasa lebih menarik sejak membaca sejarah        nol, entahlah. Yang pasti pagi ini Pak Larson membagikan hasil kuis dadakan minggu lalu,     dan teabak aku dapat berapa? 52 dari 100! Yah, memeang sih tidak bagus-bagus amat, dan     juga     masih dibawah rata-rata kelas, tapi iitukan 52 point lebih banyak dari pada kuis sebelumnya. (Hal 31)
b.      Nilai Sosial
 Jangan takut untuk meminta maaf dan mengakui apabila melakukan kesalahan.
Kutipan ; “Nyonya Maxwell, aku minta maaf soal sore kemarin. Tidak seharusnya aku masuk ke ruangan itu tanpa izin dan dengan lancang membuka buku Anda. Aku sungguh menyesal, dan kuharap Anda mau melupakannya.” (Hal 157)
c.       Nilai Moral
            Pertengkaran dalam persahabatan sebaiknya  diselesaikan dengan pikiran yang teerbuka. Jangan sampai memendam pendam sehingga dapat merusak persahabatan dan tali silaturahmi.
Kutipan : ”Kau selalu saja di rumah itu. Kau meluupakan janji kita nonton...” “ Tetapi itu karena Nyonya Maxwell sedang sakit!” “ Lalu kenapa?” Potong Katie lagi. “Kau bukan cucunya. Kau tidak pelu mengurus mereka.” (Hal 113)
D. Keunggulan dan Kelemahan Novel
a. Keunggulan :
Cerita karya Annisa Ihsani ini sanagt bagus dan gaya bahasanya juga mudah dipahami. Ceritanya mengandung unsur pendidikan yang sangan baik dibaca untuk usia remaja. Dari buku ini, kita tahu bahwa usaha manusia dalam menuutut  ilmu tidaklah ada batasnya. Cerita ini juga diangkat dari kisah nyata yang mengungkapkan tentang Teorema Terakhir Fermat. Saya suka dengan cerita karya Annisa Ihsani, Teka Teki Terakhir.  
b. Kekuarangan :
             Bagi sebagian orang, khususnys para remaja, pasti menganggap cerita ini membosankan kerena cerita yang di paparkan hanya mengandung unsur keilmiahan dan sedikit kisah percintaan di dalamnya





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku (Berjalan di Atas Cahaya)

Laporan Kegiatan Membaca 2

Teks Prosedur